Artificial intelligence is the buzzword these days.
Teknologi kecerdasan buatan (AI) telah merambah berbagai segi kehidupan manusia. Keuangan, pemasaran, pertanian, hingga kesehatan, tampaknya tidak ada industri yang lolos dari terobosan AI. Media cetak Kompas bahkan pernah memasang liputan mengenai AI di halaman pertamanya selama empat hari berturut–turut.
Andrew Ng, salah seorang pakar AI ternama, meyakini AI sebagai “listrik baru”. AI akan membawa perubahan signifikan dalam peradaban manusia, seperti halnya penemuan listrik bertahun-tahun silam.
Dengan segala kehebohan tentang AI, kita mungkin bertanya, sebenarnya apa sih yang membuat AI begitu disruptive?
Automasi
Manusia pada dasarnya pintar tetapi malas. Sejak dahulu manusia selalu berusaha mengembangkan teknologi yang dapat mengurangi beban kerjanya, seperti kereta kuda, mesin uap, dan assembly line. Dengan AI, automasi dapat dilakukan tidak hanya untuk pekerjaan fisik, namun juga pekerjaan yang membutuhkan kecerdasan. Bukankah lebih asyik jika kita bisa bersantai dan membiarkan AI mengemudikan kita sampai ke tujuan? Atau membersihkan pekarangan rumah?
Selain membantu konsumen, AI juga banyak diadopsi perusahaan. VIRA, misalnya, bisa kamu ajak mengobrol di Facebook Messenger untuk memperoleh informasi produk BCA terkini dan melakukan transaksi. Di industri jurnalistik, Google dan Associated Press masing-masing mengembangkan AI yang dapat menulis berita secara otomatis. Tidak hanya customer service dan jurnalis, dokter pun perlu bersiap karena sebagian pekerjaannya sudah dapat diautomasi menggunakan AI.
Kecepatan dan Kapasitas
Keunggulan lain dari AI adalah kecepatannya dalam bekerja. Komputer dapat melakukan pemrosesan 1.000 kali lebih cepat dibanding otak manusia. Sebagai contoh, AI buatan NVIDIA dapat memilah lebih dari 500 gambar per detik. Komputer juga tidak mengalami lelah, sehingga kecepatannya tidak akan menurun meski bekerja berjam-jam atau bahkan berhari-hari tanpa henti.
AI (yang merupakan komputer) boleh dikatakan masih tertinggal dibanding manusia dari segi kapasitas memori. Namun berkat kecepatannya, AI mampu melakukan pekerjaan dalam skala super besar seperti mencari informasi di seantero internet, menemukan senyawa kimia baru, dan menginvestigasi kasus korupsi. Seperti dikutip dari majalah Science, AI “can see patterns and spot anomalies in data sets that are far larger and messier than human beings can cope with”.
Kecerdasan
Mungkin kita mengira manusia jauh lebih pintar dari AI.
Secara umum ini benar. Namun untuk beberapa jenis pekerjaan, AI sudah lebih hebat dari manusia, atau yang dikenal sebagai artificial narrow intelligence (ANI).
Enam tahun lalu Watson, sebuah AI buatan IBM, menang telak dalam kuis cerdas cermat Jeopardy . Belum lama ini AI dari Carnegie Mellon University mampu mengalahkan pemain poker profesional, juga dengan telak. Permainan catur pun sudah dikuasai AI sejak takluknya grand master Gary Kasparov pada 1997.
Jika kuis dan permainan dinilai tidak mencerminkan potensi AI dalam kehidupan sehari-hari, maka lihat contoh-contoh berikut:
- AI bisa mendeteksi gagal jantung secara lebih akurat daripada dokter
- AI dapat mengetahui apa yang dikatakan seseorang (lip reading) dari video tanpa suara
- AI membantu Google memangkas penggunaan energi pada data center-nya
- AI mengalahkan personil militer dalam simulasi pertempuran udara
Berita lain mengenai “kemenangan” AI dari manusia dapat disimak dalam lini masa HumanVSMachine.
Kemampuan fisik
Tubuh manusia punya banyak keterbatasan. Kita tidak tahan panas, tidak mampu menawar racun, dan tidak bisa hidup tanpa oksigen di udara.
Lain halnya dengan AI. AI dapat terus beroperasi selama punya cukup energi. Dalam hal ini AI berpotensi membantu manusia dalam mengembangkan iptek. Contohnya adalah robot Curiosity yang saat ini sedang menjelajah Mars serta robot perenang Envirobot. Kedua robot ini dirancang khusus untuk mengumpulkan data dan memiliki ketahanan terhadap kondisi ekstrim seperti tingkat keasaman, toksisitas, dan temperatur tinggi.
Ada juga AI pada drone yang digunakan untuk mencegah perburuan liar di Afrika. Drone memang memiliki kamera, tetapi AI-lah yang membuat drone mengenali hewan-hewan dalam rekaman kamera.
Apakah manusia “punya harapan”?
Dengan segala keunggulan tersebut, apakah umat manusia masih “punya harapan” atau akankah suatu hari nanti AI menjadi penguasa bumi?
Topik ini sedang ramai dibahas baik di kalangan akademisi, politikus, maupun pengusaha. Belum ada kesepakatan apakah AI merupakan sebuah existential threat yang nyata bagi manusia. Saya pun tidak berani beropini karena belum punya cukup wawasan.
Yang pasti, AI masih sangat jauh dari memiliki kesadarannya sendiri. Jadi, dalam beberapa tahun ke depan AI akan “dengan senang hati“ melaksanakan apa yang diperintahkan penciptanya: manusia.